\

Sabtu, 25 Juni 2016

Posted by Unknown on 09.04.00 No comments
#AniesWidiyarti_BelahanJiwaVersusKeseluruhanJiwa_CnH2_5  Ada sebuah makna yang tersirat dari pernyataan Cihan yang mengaku salah ketika Dilara menuduh suaminya tersebut berlaku tidak adil dan tidak memikirkan perasaannya  ketika Cihan memutuskan Gulseren harus tinggal di rumah mereka dengan alasan untuk merawat Hazal. Cihan mengaku bahwa ia memang salah karena tidak memikirkan perasaan Dilara. Saat itu juga Cihan mengatakan bahwa semua yang ia lakukan hanya demi/untuk Hazal. Untuk Hazal!!! Untuk Hazal, anak kandung dari Cihan dan Dilara Gurpinar. Anak yang bukan lagi seperti kekasih, pendamping, suami atau istri, yang merupakan belahan jiwa. Anak adalah  gabungan bersatunya belahan jiwa tersebut, hingga akhirnya definisinya bukan lagi hanya “BELAHAN”, tapi sudah merupakan bentuk penyatuan, “KESELURUHAN” jiwa. Hhhuufffttt... Berkaca dari apa yang dikatakan oleh Cihan kemarin sebenarnya tidak ada yang salah dari yang dilakukannya. Orang tua seringkali harus hidup dan berjuang sampai jungkir-balik, berkorban dan mengorbankan tenaga dan perasaan, semua dilakukan demi anak, agar anaknya dapat menjalani kehidupan yang lebih baik, lebih sukses daripada orang tuanya. Bahkan untuk anak seringkali ego orang tua harus ditekan, demi untuk kebahagiaan yang ingin diraih bersama. Karena ya itu tadi, anak adalah keseluruhan jiwa dari orang tuanya. Kehadirannya, perwujudannya seolah-olah menyempurnakan cinta itu sendiri.


Menjadi masalah dan serba salah bagi Cihan dan Dilara karena demi untuk kesembuhan dan kebahagiaan Hazal, Cihan harus menghadirkan Gulseren di tengah-tengah pernikahannya dengan Dilara sudah tidak sehat lagi. Gulseren yang akhirnya diakui oleh Cihan di depan istrinya sebagai perempuan yang sangat ia cintai. Menjadi semakin banyak prasangka dan saling menyakiti di sana-sini karena belum semua pihak bisa saling mengerti dan bahkan mau berkorban demi alasan yang lain yang jauh lebih penting, yaitu anak. Kesampingkan dulu masalah Hazal yang menyebalkan dan manipulatif, bagaimana pun juga kondisi Hazal yang memprihatinkan tersebut, butuh untuk lebih dari sekedar menekan ego dan pengertian dari masing-masing pihak. Andaikata Dilara bisa menghandle Hazal sendirian dan andaikata Hazal yang ternyata lebih nyaman dirawat oleh Gulseren  bersedia untuk dirawat tidak di rumah Cihan dan Dilara, setidak-tidaknya itu tidak akan membuat Cihan di mata Dilara dipandang sebagai seorang suami atau laki-laki yang begitu tega kepada dirinya. Bahkan ketika suamimu menjawab pertanyaanmu dengan sejujur-jujurnya, rasanya jauh lebih menyakitkan kan, Ny Dilara... Suamimu yang bertahan di sampingmu selama 19 tahun, tanpa cinta, tanpa dia berusaha untuk melarikan diri atau mempermainkan pernikahan kalian dengan cara-cara yang dangkal menyakitkanmu (baca: selingkuh, ‘jajan’ kesana-kemari), sampai akhirnya dia bertemu dengan Gulseren, perempuan yang bisa mengisi kekosongannya selama ini. Duh, rasanya...


19 tahun menjalani pernikahan tanpa cinta, tapi ada anak yang setidak-tidaknya bisa menjadi harapan dan alat untuk bertahan. Jangan mencoba berdalih dengan mengatakan, kl tidak ada cinta, kenapa bisa sampai muncul anak?! Hhmmm... Sayangnya cinta tak selalu berbanding lurus dengan nafsu. Tak perlu lagi juga memanjangkan dalih, berarti Cihan itu laki-laki munafik... Hadddeh, berasa kl jadi orang di pihak dan memihak yang tersakiti, selalu ada saja celah untuk menghabisi sang lawan, alih-alih berusaha mengurai makna dari kehidupan, dari mana sebenarnya awalnya berpangkal, bagaimana sampai bisa terjadi, dimana letak kesalahannya, bagaimana untuk memperbaikinya, masihkah ada jalan untuk meluruskannya, bersediakah untuk bersama-sama mengatasinya, bla..bla..bla... Tak bermaksud untuk membela Cihan, menyalahkan Dilara, atau juga terlalu berempati dengan Gulseren, tapi ayolah... Jika masing-masing pihak memahami konflik dan posisinya, mengerti benar apa yang menjadi tujuan dan dilakukannya, dan akhirnya kemudian tumbuh kesadaran di masing-masing hati untuk saling berkorban dan menekan ego, niscaya kesalahpahaman itu akan selalu bisa diluruskan dan dikompromikan.


Saya juga masih serba samar dengan makna tangisan Dilara seusai Cihan membuat pengakuan jujur tentang cintanya kepada Gulseren... Adakah cinta dan kecemburuan di antara air mata Dilara semalam? Ataukah air mata itu masih setia untuk mewakili harga dirinya yang tidak rela Cihan ternyata mencintai perempuan yang jauh dari representasi seorang Dilara Gurpinar yang stylish, terhormat, dan elegan? Sejujurnya, melihat Dilara menangis sambil mengemudikan mobilnya sendirian semalam, saya juga sangat sedih. Dengan alasan apapun, siapa to istri yang mau melihat suaminya mengagumi dan mencintai perempuan selain dirinya? Tapi semua itu kembali lagi, 19 tahun bertahan, bolak-balik sang suami mengajukan permohonan cerai, pasti ada yang tidak beres dengan cinta dan pernikahan itu sendiri kan... Toh kesedihan yang saya rasakan untuk Dilara akhirnya kemudian jadi samar dan balik lagi jadi sedikit ilfeel, karena bagi saya Dilara itu memang keras kepala dan egois, persis seperti yang selalu dikeluhkan Cihan selama ini. Coba saja pikir, ketika Dilara mendapati Ozan sedang melihat ayahnya dan Gulseren sedang berdiri berduaan di dermaga teras belakang... Saya pikir tangisan Dilara sebelumnya bisa sedikit membantunya untuk mengendorkan urat syaraf dan ketegangan emosinya, tapi kenapa gilliran dia merespon Ozan yang tidak suka dan begitu emosi melihat ayahnya dan Gulseren sedang berdua, malah Dilara menanggapinya dengan kalimat yang jauh dari bijak dan lagi-lagi seperti mengompori Ozan untuk semakin memusuhi ayahnya. “...Ya mungkin ayahmu sedang buta, bla..bla..bla... Ya Tuhan, Dilara...  


Seorang perempuan sekaligus ibu, sekelas Dilara Gurpinar, yang katanya tidak mau dibanding-bandingkan dan kalah saing dari seorang perempuan yang hanya seperti Gulseren, tapi kl berhadapan di depan anak-anaknya, berasa perempuan ini jadi banyak ‘miss’nya. Mungkin sebagai sosialita, Dilara boleh jadi sudah mencapai tahap yang paripurna, tapi sebagai perempuan dan ibu, seperti masih banyak yang harus dipelajari... Bahkan ketika berdebat dengan Gulseren masalah Hazal yang membangkang tidak mau menjalani prosedur pemulihan kakinya, lagi-laagi Dilara hanya peduli dengan dirinya sendiri, aku dan aku... Bagi Dilara, Gulseren yang terlalu menuruti kemauan Hazal itu tidak baik harusnya untuk Hazal yang tidak mau menjalani terapi, menurut Dilara, Hazal harus dipaksa.


OK, baik Gulseren dan Dilara menuut saya semua ada benarnya dan masing-masing punya argumen yang kuat untuk mendasari. Tapi, ada sedikit yang ‘miss’ untuk dimengerti dari Dilara, yaitu tentang Hazal itu sendiri. Tipe seperti apa anakmu itu, Dilara? Bisakah dia menjadi tiba-tiba mendengarkanmu yang mencoba mendisiplikannya dengan metodemu? Untuk Hazal yang cenderung keras kepala, manja dan mau enaknya sendiri, serta pemberontak, bisakah dia menjadi model anak yang didisiplinkan dengan kata-kata harus dan harus?? Jika Gulseren akhirnya memilih untuk terlebih dahulu menghentikan terapi dan cenderung menuruti kemauan sang putri, bukan berarti itu artinya memanjakan. Pikir Gulseren, sembari waktu berjalan dia akan pelan-pelan memberi pengertian kepada Hazal tentang pentingnya terapi itu kesembuhan kakinya. Ech lha koq pikiran Dilara malah bersangka itu disengaja oleh Gulseren agar bisa berlama-lama tinggal di rumah megah itu... Lagi-lagi, meski Gulseren sempat meneriaki Dilara dengan tegas, bahwa lebih penting harga dirinya daripada sekadar tinggal di rumah megah,  balik lagi Gulseren menyadari posisinya di rumah itu. Dia yang hanya seperti kutu busuk, tapi anak-anaknya di situ tidak menginginkan dia pergi.


Memang serba salah dan akan semakin menjadi bahan untuk disudutkan oleh Dilara secara lebih menyakitkan lagi, karena ketika Cihan semakin bersikeras memertahankan dia di rumahnya, berdiri di pihaknya, justru di sisi lain itu akan membuat Gulseren sendiri semakin sakit hati, alih-alih merasa terbantu. Berasa percuma pengorbanan yang ia lakukan, sementara yang dihadapi sepeti tidak mau sedikit pun mengerti dan memahami posisinya. Kl orang Jawa bilang, “ngono yo ngono, tapi ojo ngono-ngono”, yang kurang lebih berarti jangan keterlaluanlah.. Kl dalam konteks Gulseren sekarang, dia pasrahlah Dilara mau berpikir jelek apapun tentang dia, tapi ya jangan terus dirinya diinjak-injak sedemikian rupa, sebelum Dilara benar-benar memahami sekaligus menyadari konflik dan permasalahan yang sedang dihadapi. Karena selama ini Dilara memang hanya membuat persepsinya sendiri. Oh, andai hidup yang kita jalani sehari-hari ini begitu jelas dan gamblang masalahnya seperti ketika melihat drama Cansu & Hazal... Bahkan mungkin ibu-ibu bergunjing di tukang sayur perempatan jalan tidak akan selalu memandang jahat perempuan kedua... Perempuan yang datang belakangan yang identik dengan kata-kata merebut, mengganggu, dan merusak, hehhe.. Lagian siapa mau jadi yang kedua... Bagi saya, selama masih ada Tuhan di hati, InsyaAlloh stigma buruk apapun yang melekat di masyarakat, akan dengan mulus dijalani. Stigma tinggal stigma, tapi tugas Andalah, jika memang terpaksa dikondisikan jadi yang kedua, jadilah kedua amanah dan bisa dibanggakan. Setidak-tidaknya, hancurkan stigma buruk ‘perempuan kedua’ itu untuk Anda sendiri. 


Masalah keluarga Gurpinar vs Gulseren belum juga kelar, tapi kini muncul Harun yang siap menambah beban untuk Cihan Gurpinar. Bahkan Chandan yang kemudian diungkap oleh Harun sebagai otak peledakan bom di garasi rumah Cihan, ada apa dengan perempuan ini hingga sampai sebegitu brutalnya ingin meghancurkan reputasi Cihan Gurpinar? Rupanya mata yang selalu menggilai Harun itu sampai tergerak untuk melakukan hal-hal kotor demi untuk menyenangkan laki-laki yang sedang digilai. Tapi apa lacur yang didapat, Harun ternyata malah menebar ancaman serta ultimatum untuknya. Oya, nampaknya Harun ini setipe Cihan kl masalah wibawa dan ketegasan... Lihatlah gaya marah Cihan kepada Ozan dan juga Harun kepada Chandan? Hhmmm... Mirip kan?? Ya beda-beda tipislah.. Tenang, tegas, tepat sasaran, tanpa ampun. Bakalan jadi lawan yang seimbang ini nantinya bagi Cihan. Tapi berharapnya mereka jadi rekanan yang saling menguatkan saja deh, hehhe..


Untuk Oskan Gulpinar yang sudah diusir Chandan, selamat datang kembali di Keriman’s house, wkwkwkwkwkwkkk... Senang eeeuuyy melihat Nuray yang selalu tidak mau kalah licik dari Keriman. Biar Keriman juga tidak akan semakin merajalela sendirian, wkwkwkwkkk... Berharap Oskan juga menjadi seseorang yang lebih baik setelah bertambah anak lagi dari Nuray... Kiranya ungkapan penuh emosimu semalam kepada Nuray, hanya sebatas emosi ya, Oskan. Katamu, “Kenapa kau harus datang kepadaku, Nuray...?” Lha kamu pikir setelah perut Nuray membesar dia akan diam saja begitu dan membiarkanmu mencari perempuan lain untuk kau hamili atau bahkan mengejar-mengejar Gulseren lagi?? Bersabarlah, Oskan... Setidak-tidaknya di mata Nuray dan anakmu kau masih sangat dianggap berharga. Key, ukey... Salam hangat.

0 comments:

Posting Komentar