\

Kamis, 23 Juni 2016

Posted by Unknown on 05.55.00 No comments
#AniesWidiyarti_PikiranBijakYangTeracuniKetidakdewasaanOrangTua_CnH2_3 Ahh, Ozan... Pada dasarnya dia mewarisi sikap bijaksana dari ayahnya. Salut untuk sikapnya di awal-awal ketika bertemu Gulseren saat dia menemui Hazal. Anggukan kepala yang sepintas sambil-lalu, tapi tetap tak mengurangi kesan kl anak laki-laki Cihan ini mempunyai sikap yang santun dengan orang yang lebih tua dan bahkan kepada perempuan yang sedang digosipkan mempunyai hubungan terlarang dengan ayahnya. Semua atas dasar pertimbangan perasaan dan logika yang berusaha untuk diseimbangkan. Logikanya memang Ozan harus marah dan defensif dengan kehadiran Gulseren di rumahnya, akan tetapi perasaan kl Gulseren adalah ibu yang membesarkan adiknya sejak dari lahir dan sekarang faktanya sang adik sedang sangat membutuhkan perhatian dari ibu yang bukan ibu biologisnya tersebut, Ozan berhasil mengambil jalan tengahnya. Bersikap seperlunya di depan Gulseren, alih-alih terlihat langsung memusuhinya.

Bahkan Ozan berusaha untuk menularkan sikap serta pikiran positifnya kepada Dilara. Ozan di antara perkataan-perkataan Dilara yang serba menyudutkan Gulseren, berusaha untuk memberi pengertian dan kebijaksanaan kepada ibunya. Dilara yang hanya ribut dan ketakutan rumah dan hartanya suatu hari nanti akan direbut oleh Gulseren, menganggap omongan Ozan yang mengatakan Gulseren berada di rumah Dilara dan Cihan semata-mata memang karena urusan Hazal, berasa angin lalu. Malah akhirnya Dilara seperti setengah menyumpahi Ozan dengan pernyataan, “... Kau suatu hari nanti pasti akan merasakan sendiri bagaimana jika akhirnya perempuan itu (Gulseren) merebut rumah dan kekayaan kita...” Ya Tuhan... Siapa bilang orang tua itu selalu ‘tua’ dengan pikiran dan tindak-tanduknya?? Tak selamanya juga yang masih muda serba disepelekan karena dipandang belum cukup pengalaman hidupnya. Mungkin memang belum cukup makan asam-garamnya, tapi bukankah manusia dianugrahi oleh Tuhan YME dengan akal sehat dan juga hati nurani?!!

Maka selanjutnya, akibat keegoisan sudut pandang dan pola pikir Dilara, akhirnya sikap Ozan yang semula baik dan cenderung netral menyikapi keberadaan Gulseren di rumah orang tuanya, menjadi sedikit-demi sedikit tergerus oleh pernyataan-pernyataan negatif Dilara. Bahkan apa yang dibicarakan ibunya tentang prasangka negatifnya kepada Gulseren menjadi lebih terngiang-ngiang di telinga saat sang ayah menegaskan bahwa semua yang di rumah itu, termasuk juga Gulseren tidak boleh pergi kemanapun, selama kasus pemboman di garasi mobil belum terpecahkan. Sikap Dilara yang terlihat begitu antipati dengan semua yang diputuskan Cihan akhirnya juga ikut merembet ke Ozan. Tak ada yang aneh sebetulnya dari perubahan sikap Ozan yang terkesan labil dan masih rentan pengaruh dari sekitarnya. Selain karena Ozan masih terbilang remaja, setiap anak laki-laki pasti akan menjadi pendukung serta pelindung bagi ibunya. Hatinya akan jauh mudah tersentuh melihat orang tuanya, utamanya sang ibu tengah sedih dan terlihat tersakiti. Di sinilah sebenarnya peran orang tua menjadi lebih penting lagi untuk mengarahkan emosi sekaligus empati sang anak kelak. Apakah anak akan jadi penuh pengertian atau bahkan pendendam, peran orang tua, keteladanannya akan sangat dibutuhkan. Dan Dilara malah seperti menyiram bensin ke hati Ozan yang memang sudah setengah panas karena bingung dan juga tak nyaman dengan sikon yang terjadi di keluarganya. Andai Dilara di hadapan Ozan bisa sedikit meredam emosi dan menjaga segala umpatan dan prasangkanya kepada Gulseren, setidak-tidaknya tidak menjadikan Ozan semakin bingung dan dilema. Anak toh semakin besar, pikirannya akan tumbuh dan berkembang. Suatu saat pasti akan terpikirkan oleh Ozan, Cansu, dan juga Hazal bahwa sikon yang terjadi di keluarganya adalah bagian dari pelajaran pendewasaan yang memang harus dilalui. Yang salah dan yang benar, yang perlu diambil jalan tengah dan  kebijaksanaan, atau bahkan pengorbanan, pasti akan terbaca juga. Ketika emosi sudah tertata rapi, percayalah seorang anak yang sudah tumbuh menjadi dewasa, dia akan jauh lebih tenang dan seimbang melihat positif dan negatifnya. Jadi jangan sekali-kali meracuni pikiran anak kecil kl tidak mau di kemudian hari orang tua sendiri yang akan merugi. Apa sie untungnya punya anak pendendam yang culas?! Bukankah akan sangat membahagiakan melihat seorang anak tumbuh menjadi pribadi yang bijak serta penyayang?!!

Pun ketika Cansu menjelaskan di depan Gulseren tentang cara dia memandang hubungan yang terjadi antara Cihan dan ibu kandungnya tersebut. Meski belum sampai tuntas Cansu mengutarakannya, Gulseren memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan itu. Bagaimanapun ada yang lebih penting daripada sekadar bicara tentang ‘cinta kedua’ antara dia dan Cihan. Selain itu, demi untuk kepentingan menjaga perasaan Cansu, Hazal, dan Ozan, yang tentunya akan merasa sangat tidak nyaman jika orang tua mereka sedang terlibat ‘silang hati’, hehhe...

Situasi yang sedang terjadi memang sedang tidak nyaman bagi semuanya. Bahkan bagi Gulseren pun, dia lebih baik tidak tinggal di rumah megah itu dan andaikata Hazal bisa dan mau, Gulseren lebih memilih merawat dan mendampingi putrinya yang sedang lumpuh itu di tempat lain. Tapi lagi-lagi, jika pun itu bisa terwujud, apa bijak merawat Hazal jauh dari orang tua kandungnya, sementara orang tua kandungnya sebenarnya masih ada dan mampu. Lagipula, meski akhirnya diketahui hanya sebagai ibu asuh, Gulseren tampak lebih menyatu secara perasaan kepada Hazal. Dilara yang menyayangi anak-anaknya, lagi-lagi sayang dan perhatian itu seolah-olah hanya sebatas dangkal saja. Naluri keibuanmu itu lhoooh, Ny Dilara... Seakan-akan naluri itu belum benar-benar terasah dengan tajam... Hanya kesannya saja yang sudah didapatkan, selebihnya... Tetap ada lubang yang masih belum bisa tertutupi. Dan suka tidak suka yang bisa menutup lubang yang masih menganga itu adalah naluri keibuan milik Gulseren. Benar, Gulseren tidak sestylish, seelegan, dan semenawan Dilara, tapi apa anak-anak atau juga suami membutuhkan stylish, elegan, dan menawan tadi untuk merawat keberlangsungan sebuah keluarga? Hanya butuh watak perhatian dan kasih sayang untuk bisa menjadi Gulseren yang dicintai oleh Cihan, Cansu dan juga Hazal. Semuak-muaknya Hazal dengan ibunya dan juga kehidupan miskinnya dahulu, tetap hati Hazal tidak bisa dibohongi, bahwa hanya Gulseren yang bisa membuatnya nyaman dan begitu diperhatikan.
Maka dari itu, ketika Dilara tetap kekeuh dengan pikiran dan pendapatnya mengenai Gulseren yang dianggap akan merebut suami, anak-anaknya, dan juga rumah serta seluruh kekayaannya, sebaiknya kembali berkaca dan berusaha untuk berbesar hati, introspeksi diri. Apakah menjadi sesuatu yang dibenarkan jika Dilara mati-matian memertahankan rumah tangganya dengan Cihan semata-mata hanya takut jadi bahan pergunjingan dan bukan karena alasan mencintai suaminya... Haruskah keegoisannya berlaku hanya bagi dirinya sendiri sementara Cihan yang sudah berusaha bertahan selama 19 tahun dalam pernikahan dengan istri yang tak pernah dicintai tak berhak meraih kebahagiaannya sendiri... Dan bahkan Dilara juga tahu kl pernikahan yang dia jalani bersama Cihan memang tak seindah dengan yang tampak di luaran... Satu lagi, pernahkan Dilara benar-benar berusaha menunjukkan kepada Cihan kl dia adalah seorang istri yang pantas untuk dipertahankan sebagai pendamping sejati... Jangan bilang Cihan tak memberikan kesempatan itu, Dilara... 19 tahun adalah gambaran betapa selama rentang waktu tersebut berjalan ada banyak kesalahan yang dibuat dan beberapa kesempatan untuk memperbaiki... Tapi apa yang hasil yang didapat kemudian, tetap sama saja.

Kini, ketika akhirnya Gulseren hadir di tengah-tengah pernikahan yang sudah hambar, justru Dilara seolah-olah memperoleh momentum untuk mencari sasaran kesalahan baru, bahwa Gulseren memang hadir untuk merusak rumah tangganya dengan Cihan, alih-alih semakin menyadari kl selama ini dia dan Cihan terikat dalam sebuah pernikahan yang tak sehat. Tapi ketika reputasi dan harga diri sudah menjadi ‘Tuhan’ untuk Dilara, tanpa sadar dia sudah mempermainkan sekaligus memenjarakan hati suaminya sendiri. Bahkan untuk anak-anaknya Dilara lebih suka bersikap menuntut dan ambisius daripada mengajari mereka dengan limpahan kasih sayang yang sederhana dan menenangkan.

Seandainya Dilara bisa konsekuen antara niat dan tekad untuk memertahankan rumah tangganya berdasarkan ketulusan hati dan semangat memperbaiki diri, saya rasa Cihan juga pasti akan mau mempertimbangkan untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangganya. Jangan buru-buru menuduh Gulseren sok lugu demi merebut perhatian Cihan dari Dilara... Lha wonk Dilara saja selalu egois dengan pikiran dan segala tindak-tanduknya. Sementara Cihan yang masih harus ribet mengurusi utang-piutang sang ayah, padatnya urusan bisnis perusahaan, belum nanti dengan kedatangan Harun yang sepertinya siap menyulut perang dengan Cihan, bla..bla..bla.., masih menyempatkan waktu untuk sekadar bisa memeluk dan berbicara dengan anak-anaknya. Jangan suka teriak menjadi korban yang seolah-olah paling menderita, sementara yang sebenarnya justru Anda menderita karena kebodohan dan keegoisan Anda sendiri. Mencari sasaran untuk disalah-salahkan akan jauh lebih mudah daripada sekadar berbesar hati untuk mengakui kesalahan dan memperbaiki diri. Daripada ribet dengan status ‘korban’, bukankan akan lebih baik jika di antara keruwetan masalah kita bisa berbesar hati untuk mengorbankan ego dan segala kepentingan pribadi demi untuk kebaikan bersama?! Menjadi lebih amanah, itulah salah satu cara untuk menikmati hidup ini. Salam hangat.
  
Categories: ,

0 comments:

Posting Komentar