Sebuah janji yang apabila dia senantiasa dipegang teguh, tentu rasanya akan sangat membanggakan dan menjadi kepuasan tersendiri. Tapi seperti juga yang sering diungkapkan, ‘janji tinggal janji’, begitu mudah ketika dulu sedang diucapkan atau diikrarkan, tapi dalam perjalanannya kadang maknanya hilang dan menjadi hampa karena perkembangan situasi dan kondisi. Mungkin lupa atau memang sengaja dilupakan, atau mungkin masih ingat, tapi menjadi patah arang ketika di tengah perjalanan tak lagi sesuai dengan harapan. Inilah yang mungkin terjadi ketika Mert mulai merasakan kedekatannya dengan Nur. Mert yang mulai mengenal Nur ketika gadis itu menyelamatkannya dari insiden pohon besar di tengah malam dan Mert yang makin jatuh hati dengan Nur karena ketelatenannya mendengarkan cerita-cerita Mert tentang sosok ibu dalam bayangannya. Itulah Mert ketika akhirnya memutuskan untuk menjadikan Nur sebagai teman terbaiknya. Teman yang tidak pernah menolak untuk mendengarkan semua cerita khayalannya tentang awan-awan dan langit di atas sana yang dianggapnya sebagai surga, tempat ibunya pergi untuk sementara sampai akhirnya nanti dia datang untuk menjemput Mert dan juga ayahnya. Nurrrr... Kala itu sebenarnya sudah ada ‘sepaket’ yang terpikat dengan sosokmu, xixixiii...
Mert menjadi bandel dan terkesan keras kepala, karena di lingkungan rumahnya di perkebunan Kozan, dia benar-benar menjadi terasing segala-galanya. Rumahnya yang jauh dari pemukiman, tidak ada teman sebaya yang dekat dan biasa diajak bermain, dan dia hanya tinggal bersama orang-orang dewasa yang seperti tidak punya waktu khusus untuk memperhatikan atau bahkan sekadar mengajak bermain dia. Ingat juga kan sebelum kedatangan Nur, Mert belum dimasukkan ke sekolah, pendek kata apa yang berkembang di alam pikirannya benar-benar masih sangat alami sekaligus liar, butuh perhatian serta diarahkan agar pikirannya yang sedang dalam tumbuh kembang itu menjadi lebih terarah dan tidak dibiarkan menjadi salah-kaprah. Tapi apa dulu Yigit sampai kepikiran ke situ atau Ny Aytul sang nenek? Eeeyaaa, Yigit ketika itu benar-benar berada di titik nadir kekosongan hati. Rasa sayangnya kepada sang anak, sebatas sayang yang belum menjamah sampai ke dasar hati. Apalagi ditambah sikon pekerjaannya yang luar biasa memakan waktu, di samping juga memikirkan sang istri yang kala itu masih terbaring koma yang cukup lama dan entah kapan tahu akan sadarnya. Lalu Ny Aytul? Pun dia perhatian dengan sang cucu, tapi barangkali kl dibandingkan, dia jauh lebih perhatian dengan kondisi anaknya sendiri yang kala itu masih belum sadarkan diri dari ‘tidur panjangnya’ daripada memerhatikan cucunya dengan pertanyaan-pertanyaan tiada henti tentang kepergian ibunya ke surga.
Hampir sama sebenarnya permasalahan yang dihadapi Yigit dan Ny Aytul ketika mereka menghadapi Mert. Dua orang itu memang perhatian dan menyayangi Mert, tapi mereka tidak bisa masuk untuk mencoba menyelami alam pikiran Mert. Mereka berdua selalu sibuk dengan kerepotan dan kesedihannya sendiri-sendiri, tapi lupa sama sekali kl Mert pun justru jadi pribadi yang paling menyedihkan dalam hal ini. Ketika orang dewasa sudah begitu mahir menyikapi kesedian dan kebahagiaannya, lalu bagaimana Mert harus melukiskannya, yang dia sendiri saja masih bingung apa itu konsep sedih dan bahagia?? Apalagi sudah harus ketemu dengan istilah surga dan kepergian ibunya... Jangan salahkan Mert kl akhirnya dia tidak bertemu Nur, bukan tidak mungkin dia malah menambah kepusingan Yigit atau juga neneknya dan anggota keluarga Kozan lainnya. Bahkan mungkin Ny Aytul bisa keseringan sakit encok hanya gara-gara setiap saat harus jadi korban keisengan Mert yang tidak habis-habisnya mengerjai neneknya dengan mainan mobil-mobilannya yang berserakahan di mana-mana, hahha...
Yigit sampai akhirnya harus ikut-ikutan dibentak oleh Nur setelah dia sendiri membentak Mert, karena mungkin di mata Nur memang bukan seperti itu yang seharusnya dilakukan pada seorang anak berumur enam tahun. Apalagi jika dilihat dari latar belakang Mert hingga sampai akhirnya dia nekad malam-malam memanjat pohon hanya karena saking merindukan sosok ibunya... Hadddeh, Yigit... Ini mungkin yang dinamakan ‘menyayangi tapi tak menyentuh hati’ alias ‘hampa terasa’, wkwkwkwkwkkk... Percuma juga berteriak-teriak kepada anak yang kita sebelumnya belum pernah mengajaknya bicara dari hati ke hati tentang apa yang sebenarnya sedang berkecamuk di alam pikiran serta hatinya... Coba kl Yigit sebelumnya senantiasa pelan-pelan mencoba memahani Mert, pintar menjelaskan dan menyikapi apa yang ada di alam khayalan Mert, Mert pasti juga tidak akan buntu dan sampai segitunya memanjat pohon untuk menggapai tingginya langit surga... Atau juga kl tetap dengan kenekadannya memanjat pohon, lakukan saja apa yang seperti Nur lakukan malam itu. Dekati anaknya, tanyakan kenapa sampai akhirnya melakukan hal tersebut, baru deh dibilang segala penjelasannya kemudian. Eeealllah... Lha malah akhirnya dibentak-bentak.. Bukan Mert yang malu kan... Justru Yigit sendiri yang akhirnya malu bukan kepalang karena berhasil takhluk dengan bentakan seorang gadis yang belum 24 jam dikenalnya saat itu, hahha.. Cieeeeeee...
Maka seolah takdir mempertemukan, tak hanya ayahnya yang akhirnya belajar mencintai perempuan ketika bertemu dengan Nur, pun anaknya kala itu juga berhasil ‘diselamatkan’ perkembangan jiwanya karena Nur berhasil ‘meraih’ serta mendekati Mert dengan cara-cara yang sewajarnya. Yang perlu digarisbawahi, dulu Nur ketika dekat dengan Mert, dia tidak memposisikan dirinya sebagai seolah-olah sosok yang menggantikan ibunya, meski Nur kala itu belum tahu yang sebenarnya tentang Iclal. Nur hanya memposisikan dirinya sebagai teman bagi Mert. Teman yang juga sangat dibutuhkan oleh Mert untuk mendengar ceritanya tenatng ibunya. Teman yang dibutuhkannya untuk sedikit saja meruntuhkan kharisma ayahnya yang sulit untuk diajak bermain di arena permainan. Hahahaaa.. Kl ingat cerita Mert kepada Nur di awal-awal, bahwa ayahnya itu seorang yang super, tidak seorangpun berani memarahi ayahnya, makanya itu Mert menjuluki ayahnya Superman. Hhmmm... seorang anak kecil mengenal konsep ‘super’ karena ayahnya yang terlihat garang saja, hadddeh... Ntar kamu besar bisa-bisa kl jadi seorang pemimpin menjelma Hitler atau Benito Mussolini, Mert...
Untung saja ada Nur yang kemudian datang dan bahkan bersedia menjadi sekutu Mert di arena taman bermain atau juga di mana berada hanya demi untuk lebih ‘memanusiakan’ bapaknya. Akhirnya Yigit mau juga naik komedi putar menemani Mert dan Nur... Karena ada Nur, Yigit mana mau untuk jatuh kharismanya lagi sebagai seorang ayah atau juga laki-laki yang sedang ‘caper’ dengan seorang gadis yang saat itu ada di dekatnya, wkwkwkwkwkkk... Hingga akhirnya sampai seharian itu, Nur seperti berhasil menghadiahkan kepada Mert sosok ayahnya yang semakin ‘super’ karena tidak hanya terlihat galak atau garang saja, tetapi juga ‘super’ karena ayahnya mau meluangkan waktu untuk menemani anaknya bermain dan menghabiskan waktu di antara padatnya jadwal aktivitas kerja. Bahkan sampai malam menjelang waktu tidur Yigit mendongengkan Mert, ada momen-momen yang akhirnya menyentuh hati untuk akhirnya direnungkan kembali. Ketika Mert mengungkap tentang bahagianya dirinya seharian itu karena telah melewatkan waktu bersama sang ayah, tapi sejurus kemudian Mert justru melontarkan sebuah ironi, bahwa dia justru merasa malu dan tidak enak kepada ibunya yang sedang berada di surga karena seharian itu dia merasa bahagia. Mert takut ibunya akan marah karena dia bahagia. Duh, Mert... Hatimu yang masih belum terkontaminasi apapun sampai akhirnya kau berpikiran sedalam itu... Kau sebenarnya anak siapa sie, Mert? Ibumu yang sedang terbaring koma itu saja mungkin di hatinya hanya memikirkan tentang ayahmu, kenapa kau repot-repot memikirkannya...
Senangnya itu ada di bagian ketika Mert malam itu mengatakan kepada ayahnya bahwa ia harus berterima kasih kepada Nur untuk kebahagiaan hari itu. Dan Mert yang sudah menjadikan Nur sebagai ‘best friend’nya meminta kepada ayahnya untuk berjanji, bahwa dia tidak akan membiarkan Nur pergi. Hahahaaa... Cerdas kamu, Mert!!! Tahu saja kau apa yang sedang dipikirkan ayahmu juga. Sukaaaaa dengan cara Yigit ketika itu merespon permintaan Mert. Yigit kala itu menjawabnya dengan tidak terburu-buru, hanya pandangan mata yang beranjak menajam, tapi terasa teduh kemudian.. Lalu pelan dia mengatakan kepada Mert sambil menjawab, “janji”. Duhhhhh... Seperti sudah jadi pertanda ini, Mert... Pokoknya apapun yang terjadi, meski nanti ibumu kelak sudah bisa bangun dari koma lagi, jangan biarkan Nur pergi ya, Mert. Ingatkan terus ya, Mert, ayah Yigit nya, xixixiii... Makanya untuk akhirnya samapi Yigit rela ngibulin sang bibi dan melangkah pasti untuk menceraikan Iclal dan kemudian mantap menikahi Nur. Hahha.. Mert ini malahan seperti jadi inspirator sekaligus motivator bagi Yigit, bahwa saatnya cinta harus diraih dan diwujudkan.
Hingga benar saat Iclal akhirnya sadar dari koma dan kembali ke tengah-tengah keluarga Kozan, Mert seperti biasa masih tetap lengket dengan Nur. Maklum, sang ibu masih ‘gagap’ serta ‘gugup’ dengan dunia sekitar setelah tiga tahun hampir beku dalam pembaringan tempat tidur di rumah sakit. Mert justru saat itu lebih merasa marah ketika ibunya mengatakan Nur akan segera pergi dari rumah perkebunan Kozan karena akan menikah dengan tunangannya. Wkwkwkwkwkkk... Kala itu gara-gara ‘skandal Haidar, ternyata bukan hanya Yigit saja yang tampak kecut di meja makan saat sarapan, Mert tenyata lebih ekspresif kecutnya daripada bapaknya untuk menunjukkan dia tak mau ditinggal pergi dan kehilangan Nur. Entah karena saat itu di pikiran Mert masih mengingat janji ayahnya untuk tidak akan membiarkan Nur pergi atau karena spontan saja, refleks ketika itu di meja makan, Mert langsung meminta kepada ayahnya untuk jangan memperbolehkan pengasuh kesayangannya itu pergi. Ampunnn deh, Mert... Gemezzzz saiya pengen cium kamu saat itu juga.. Xixixiii... Permintaan Mert kala itu kiranya turut membuat hati Yigit makin keki gara-gara istrinya tiba-tiba akan dilamar oleh laki-laki lain dan kabarnya kian santer terdengar di telinga. Hahahaaa...
Itulah sekelumit JANJI yang semoga akan terus diingat dan dipegang terus oleh Yigit sampai nanti dia mati. Janji yang mungkin dulu pada awalnya bermakna sederhana, hanya untuk sekadar membantu biar sang anak lekas pergi tidur malam itu. Akan tetapi kemudian menjadi begitu bernilai dan menjadi salah satu komitmen yang sangat berharga, karena ternyata Tuhan kala itu menjadikan JANJI tersebut sebagai sebuah TAKDIR. Takdir bahwa perjodohan tersebut seolah-olah sudah ditetapkan untuk Yigit, Nur, Mert, dan juga mungkin nanti akan bertambah dengan yang lain, akan menjadi sebuah penyatuan yang besar dan membahagiakan. Aamiin. Have a nice Tuesday, AVers... Salam hangat.
Categories: remahan yang tercecer
0 comments:
Posting Komentar